sebelum cintai cinta cintailah yang menciptakan cinta

yaa sayyidii yaa rasuulullah


Sebuah sajak karya Syech Abdul Jalil / Datu Sanggul pada abad 18 M di Banjar Kalimantan di-parafrasekan.

SARABA AMPAT

[1]
Alloh jadikan saraba ampat
Syariat thoriqot hakikat makrifat
Manjadi satu di dalam kholwat
Rasa nyamannya tiada tersurat

Parafrase:
`Alloh menjadikan serba empat`, diterangkan oleh Syech Abdul Jalil dibaris berikutnya, serba empat yang pertama adalah `syariat, thoriqot, hakikat, makrifat`.
Urut-urutan ini seolah olah sesuatu yang baku untuk beberapa dekade. Tidak jelas dalil atau dasarnya (Qur-an-Hadits-nya), tapi banyak yang memakai urut-urutan tingkatan atau tahap yang harus ditempuh seperti itu, yaitu syariat dulu (syariat di sini bisa dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia), baru thoriqoh ( thoriqoh sendiri artinya `jalan`, bisa dipahami sebagai masa transisi atau proses dari syariat menuju hakekat.), baru setelah itu hakekat (hakekat bisa diartikan esensi atau jiwa atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama), baru kemudian makrifat (ma`rifat di sini bisa dipahami ma`rifatulloh, yaitu mengenal Alloh dengan sebenar-benarnya kenal).
Sebagai bahan rujukan disalah satu hadits disebutkan, “awalauddin ma`rifatulloh” , “awal di dalam beragama adalah ma`rifatulloh”. (Tetapi kenapa ma`rifatulloh itu ditempatkan pada tahap yang terakhir??)
`Menjadi satu di dalam kholwat`, `kholwat` adalah salah satu `riyadhoh`, atau salah satu latihan bagi shalik, dimana saat ber-kholwat itu seluruh perhatian, jiwa, raga, rasa, semata-mata ditujukan pada Alloh, hal ini berarti, menurut Syech Abdul Jalil, syariat, thoriqot, hakekat, dan ma`rifat, ke-empat-empatnya itu `dilakukan` saat ber-kholwat.
Keterangan tambahan, kholwat ini biasanya dipahami oleh sebagian orang yaitu `riyadhoh` yang dilakukan Nabi Muhammad saat beliau berada di gua Hiro`.
Karena secara jelas, jarang sekali ada yang membahas tentang apa yang dilakukan Nabi di gua Hiro`, dan secara syariat atau hukum-hukumnya bagaimana??.
Padahal hal itulah yang intensif dilakukan Nabi Muhammad sebelum
pengangkatan kenabian. Kadang 7 hari, kadang 10 hari, kadang 21 hari kadang 40 hari bahkan diceritakan pernah hampir 2 tahun Nabi Muhammad berada di Gua Hiro`.
`Rasa nyamannya tiada tersurat`, Rasa saat ber-kholwat, -dalam
ber-syariat, thoriqot, hakekat, ma`rifat-, digambarkan oleh Syech Abdul Jalil, sebagai rasa yang tidak bisa dilukiskan (diistilahkan `tiada tersurat`), hanya para pelaku-pelaku kholwat saja yang merasakannya.
[2]
Huruf Allah ampat banyaknya
Alif i`tibar dari pada DzatNya
Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya
Ha isyarat dari af`alNya

Inilah penjelasan yang kedua tentang serba empat. Yaitu diambil dari huruf Alloh, Alif, Lam, Lam, Ha, yang jumlahnya adalah empat.
`Alif i`tibar dari pada DzatNya`, `Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya`, Ha isyarat dari af`alNya`.
Saya buka di naskah lain, yaitu naskah dari Syeh Muhyiddin tentang
`Martabat tujuh`, tampak ada hubungan erat antara pengertian `martabat tujuh` dengan yang dijelaskan oleh Syech Abdul Jalil ini. Yaitu yang diterangkan oleh Syech Abdul melalui sarana huruf-huruf dalam kata `Alloh` ini, menerangkan 4 martabat yang juga diterangkan dalam `martabat tujuh`.
Dan ini membuat muncul kesimpulan awal bahwa Syech Abdul Jalil juga memperoleh pelajaran tentang `martabat tujuh` ini. Untuk pemahaman Istilah- istilah ini lebih baik anda cari bukunya sendiri tentang `martabat tujuh`, karya Syeh Abdul Muhyi, Pamijahan.
[3]
Jibril, Mikail Malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail, Israfil rupa pasanganya
I`tibar sifat Qohar dan Kamal

Serba empat yang ketiga dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil, dengan
menjelaskan Malaikat-malaikat tertentu yaitu Jibril, Mikail, Izrail dan
Israfil. Dimana di jelaskan oleh Syech Abdul Jalil di sini, malaikat
Jibril dan Mikail sebagai malaikat mulia -`Jibril, Mikail Malaikat
mulia`-, Isyarat dari sifat Jalal dan Jamal Nya Alloh. (artinya Jalal dan
Jamal -lihat di buku-buku tentang Asma`ul husna). Sementara itu
pasangannya adalah malaikat Izrail dan Israfi sebagai i`tibar sifat Alloh yang Maha Qohar dan Maha Kamal.(artinya Qohar dan Kamal baca pula dibuku tentang asma`ul Husna.
[4]
Jabar Ail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Alloh itu artinya
Jalalulloh bahasa Arabnya

Syech Abdul Jalil di sini menerangkan serba empat yang ke-empat tetapi dengan bahasa tersirat, karena di sini, dibahas tentang asal muasal Jalalulloh dari bahasa wahyu menjadi bahasa lahir yaitu bahasa Arab.
Apakah Qur`an itu diturunkan Alloh dalam bahasa Arab??. Maha Suci Alloh, hanya Alloh yang tahu bahasa wahyu itu.
`Jabar Ail` ini sebagai dimaksudkan atau diistilahkan komunikasi awal antara Alloh dengan Jibril (memakai bahasa `wallohu`alam`). Mengacu dari nama `Jibril` menjadi `Jabar-Ail`, tahap yang kedua diterangkan oleh Syech Abdul Jalil, `Bahasa Suryani asal mulanya`, Bahasa suryani di sini sering dipahami sebagai bahasa malaikat, mirip-mirip bahasa arab,tapi tidak bisa di artikan meskipun ada maknanya.
Contoh lain bahasa Suryani,” bi ajin ahujin jalajalyu tu jaljalat`, saya
`intip` dari kitab rahasia yang biasanya dibaca dengan ritme tertentu
dalam suatu kelompok mistis tasawuf.
Tahap ketiga yaitu `Kebesaran Alloh itu artinya`, dalam tahap ini, berarti bahasa `wahyu` tadi sudah bisa diterima oleh manusia, dan baru diberi simbol atau bentuk, karena lewatnya Muhammad si Orang Arab, maka menjadilah `Jalalulloh bahasa Arabnya`
[5]
Nur Muhammad barmula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya

Di sini, tampak lebih jelas bahwa Syech Abdul Jalil atau Datuk
Sanggul ini, lagi-lagi menjelaskan pelajaran tentang `martabat tujuh`, hal ini dikatakan dalam syair,` Nur Muhammad barmula Nyata`. Dalam kitab `martabat tujuh` baik yang dikarang oleh Syeh Abdul Muhyi maupun karya Haji Hasan Mustapa, yang ujung-ujungnya akan kita temui dalam pendapat Ibnu Arobi, Nur Muhammad diyakini sebagai asal muasal penciptaan alam semesta.
Dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil di baris ke dua,` Asal jadi alam
semesta`. Di pembahasan tentang `martabat tujuh` di kitab yang saya sebutkan di atas, `Nur Muhammad` ini berada pada martabat `wahdah`, atau martabat yang ke dua, tempatnya sifat Alloh. Lihat perkataan Syeh Abdul jalil sendiri pada bagian [2] Alif i`tibar dari pada DzatNya, Lam awal adalah sifatNya.
Dengan jelas dikatakan di baris berikutnya,`Saumpama api dengan panasnya`,
`Itulah Muhammad dengan Tuhannya`. Api adalah perlambang DzatNya, sedang panas perlambang dari sifat api atau sifat dari DzatNya tadi. Ini juga di sebutkan dalam `martabat tujuh`, yaitu martabat `ahadiyah` dan `wahdah`.
Ada kesamaan pemahaman.
[6]
Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Manjadi awak barupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah

Serba empat yang berikutnya di sini diterangkan oleh Syeh Abdul Jalil yaitu api, air , tanah dan udara (hawa), inilah yang menjadi unsur-unsur terbentuknya jasmani manusia.`Itulah dia alam dunia` kata Syeh Abdul Jalil,`Menjadi badan yang bermacam-macam`,(`manjadi awak barupa-rupa`).` tulang sungsum daging dan darah`. Kembali lagi penurunan air menjadi tulang, api menjadi darah, tanah menjadi daging dan hawa (udara) menjadi sungsum, kita temui juga dalam bahasan `martabat tujuh`.
[7]
Manusia lahir ke alam insan
Di alam ajsam ampat bakawan
si Tubaniyahdan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariyah

`Manusia lahir ke alam insan`, di alam ajsam empat unsur itu berkawan (ampat bakawan) atau menjadi satu dengan si Tubaniyah Tambuniyah, Uriyah dengan si Camariyah. Kembali lagi dapat kita temui pemahaman yang sama untuk masalah alam ajsam ini di kitab tentang `martabat tujuh`. Bersatunya unsur-unsur jasmaniah yang kasar, dengan empat unsur dari jasad halus (jisim latif). Tubaniyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur air, Tambuniyah mewakili (istilah) jisim latif unsur tanah, Uriyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur api, Camariyah mewakili (istilah) jisim latif dari unsur udara atau hawa.
Pemahaman empat jisim latif ini juga ada di budaya jawa (Kejawen), yaitu yang di sebut `papat dulur` atau `empat saudara`. Hanya sebagian besar kadang memahami jisim latif ini merupakan keghoiban yang tinggi atau bahkan yang tertinggi. Padahal dalam hal keghoiban adalah termasuk relatif rendah, karena sebenarnya adanya jisim latif karena adanya jisim yang kasar ini.
[8]
Rasa dan akal, daya dan nafsu
Di dalam raga nyata basatu
Aku meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka hujung kuku

Serba empat yang berikutnya yaitu,`Rasa dan akal, daya dan nafsu`,`Di dalam raga (jasmani) nyata bersatu`. Di sini, Syech Abdul jalil /Datuk Sanggul tampaknya ingin mengingatkan kita bahwa dalam jasmani atau dalam raga kita itu ada rasa ada akal, ada daya dan ada nafsu. Datuk Sanggul juga memilah Rasa dan akal. Ini sebagaimana pemahaman bahwa Rasa dan akal sebagai karunia Tuhan, berhubungan erat dengan Qolb (Qolb ini diterangkan oleh Datuk Sanggul di bait berikutnya [9]). Atau bisa dipahami sebagai Cahaya rasa dan Cahaya akal. Hal ini diterangkan di baris berikutnya,`Aku meliputi segala liku`.
Di dalam AlQur`an S.Nur (35),”Allohunurrussamawati wamaa fil ardli…….”
“Cahaya Alloh itu meliputi langit dan bumi………”
Ayat ini yang kadang dianggap sebagai pintu gerbang bagi para pengikut tasawuf, untuk menuju ke tingkat `martabat` yang lebih tinggi. Merupakan satu ayat yang pokok di dalam menjelaskan masalah lapisan-lapisan cahaya dari cahaya hamba sampai cahaya ketuhanan. Cahaya rasa dan akal mewakili cahaya ruh idhofi cahaya malaikat, cahaya daya (daya) mewakili ruh Robani (“tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya Alloh”, “La haula wala quwata ila billah”), sedangkan nafsu (cahaya nafsu), mewakili cahaya jasmani (raga). Sedangkan Cahaya Alloh meliputi segala sesuatunya. Memakai pemahaman `martabat tujuh`, maka Cahaya rasa dan akal berada pada martabat `alam arwah` dan `alam mitsal`, sedangkan cahaya daya (ketuhanan) berada pada martabat alam `ahadiyah`, `wahdah`,wahidiyah`. Sedangkan cahaya nafsu berada pada martabat `alam ajsam` dan `insan kamil`.
Sedangkan Alloh meliputi segala sesuatu,` Matan hujung rambut ka hujung kuku`,`Mulai ujung rambut sampai ujung kuku. Mulai martabat `Ahadiyah` sampai martabat `insan kamil`
[9]
Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang dzohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam soghir itu sabutnya

Serba empat berikutnya dijelaskan oleh Datu Sanggul yaitu `tubuh` dan `hati nyawa rahasia`. Bisa diartikan `hati itu nyawa yang rahasia`. Bisa juga hal ini dikupas dari tiap kata yang mewakili satu pengertian. Yaitu `hati` mewakili satu pengertian, `nyawa` mewakili satu pengertian dan `rahasia` mewakili satu pengertian.
Padanan pemahamannya adalah, `tubuh` ini yang dimaksudkan adalah jasmani, `hati` di sini yang dimaksudkan adalah `hati sanubari` (maqomnya `yakin`), `nyawa` di sini yang dimaksudkan adalah `hati maknawi` (maqomnya `ainul yakin`), dan yang dimaksudkan `rahasia` di sini adalah `hati sirri` (maqomnya `haqul yakin`).
Gambaran keyakinan ini contohnya sebagai berikut:
Kalau manusia melihat ada asap, sebagian sudah yakin, bahwa ada asap pasti ada api (yakin), sebagian meningkatkan keyakinan mereka dengan cara melihat tempat asal asap tersebut. Dan terlihat lah memang ada api-nya (`ainul yakin), sebagian lagi masih meningkatkan keyakinannya, dipeganglah api tadi, dan terasa panasnya, (haqqul yakin).
Saya sementara membatasi pengertian-pengertian di masalah hati ini, karena sangat lekat dengan rahasia mistis yang ada. Dan terlebih lagi bahwa semuanya yang bersifat teoritis tidak ada artinya dipahami bagaimanapun tingginya pemahaman itu, bila tidak dibarengi dengan `perjalanan` sesungguhnya. (maaf)
`satu yang Dzohir amat nyatanya`. Tidak ada maksud lain kecuali menegaskan masalah kenyataan jasmani. `Tiga yang batin pasti adanya`, mengacu pada tiga hal yang sudah disebutkan di atas. `Alam soghir itu sabutnya`,`Alam kecil itu namanya`
Dalam pemahaman tasawuf, manusia ini juga disebut sebagai `alam soghir` atau `alam kecil` karena semua yang ada di alam ini juga ada di manusia. Dalam kitab “Hakekat Makrifat”, bahkan disebutkan, setiap unsur yang ada di alam besar atau alam kabir, juga ada di alam kecil, manusia ini. Baik H,Li, Na, K, Rb,Cs,Fr, dst….dst……maupun yang lainnya, semua ada di manusia.
Ada 3 analog besar di sini yaitu Alam Kabir atau jagad raya ini, analog dengan manusia (alam soghir), analog dengan Al Qur`an.
Di alam besar atau jagad ini secara keseluruhan, di analog-kan dengan manusia secara keseluruhan pula dan analog lain adalah adanya Al Qur`an.
Di alam ini ada `bulan` yang menerima cahaya dari matahari, di manusia ada `akal`, dan di Qur`an ada `Do`a-doa` ( “Ad do`au mukhul ibadah”, `do`a itu otaknya ibadah`) . Di alam ada `matahari` (jantungnya alam), di analog-kan di manusia ada `hati` atau `qolb` atau `jantung`. Di Al Qur`an ada jantungnya yaitu Surat Yasin (Qolbun Qur`an). Inti dari surat Yasin yaitu,”Salamun qaulan mirrobirrohim”. Di sinilah muncul satu perlambang bahwa hatinya orang-orang yang beriman haruslah di arahkan pada hati yang `salamun` atau selamat atau `Qolbun salim`. Yaitu hati yang terkena goncangan bagaimanapun beratnya, yang terkena ujian bagaimanapun beratnya tetap hati yang ingat dan syukur pada Tuhannya. Hati yang terkena kesenangan bagaimanapun, tetap ingat dan syukur pada Tuhannya. Dalam keadaan apa saja, dalam situasi apa saja, dimana saja, kapan saja, selalu ingat dan syukur pada Tuhannya. Inilah hati yang selamat, `Qolbun Salim`. Tidak berkeluh kesah, tidak kecewa, tidak sedih, tidak menggerutu, dll.
[10]
Mani manikam madi dan madzi
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya yang tahu Allahu Rabbi

`Mani manikam`, umumnya diperuntukkan untuk mewakili perhiasan yang indah, bagus, elok, sedangkan di sini, mani manikam menjelaskan soal `madi dan madzi`. Arti `madi dan madzi secara harfiah, untuk bahasa Banjar tidak saya temukan arti, untuk bahasa arab, saya tidak begitu tahu, juga untuk bahasa melayu, kok rasanya tidak.
Tapi sepertinya di sini Datuk Sanggul menerangkan `indahnya `perhiasan`, `sel sperma` dan `sel telur`, dalam hubungannya dengan proses persatuan keduanya yang menghasilkan anak adam. Dibaris berikutnya diterangkan,`titis manitis jadi menjadi`, seperti ungkapan,` Abrakadabra`, `Si anak adam balaksa kati`, `Si anak adam beribu beratnya (balaksa kati)`. Datuk sanggul memakai istilah berat di sini sepertinya untuk menggantikan istilah `banyak`. Bisa di artikan,` Si Anak adam menjadi banyak sekali`. `Hanya yang tahu Allahu Rabbi`. Nah ini agak sulit memahaminya, apa yang dituju dengan Datuk Sanggul. Apakah yang dituju itu masalah jumlah anak adam itu sampai seberapa banyak, ini yang tahu hanya Alloh?
atau, rahasia persatuan `madi dan madzi` tadi hanya Alloh yang tahu?
atau rahasia di dalam diri anak adam itu hanya Alloh yang tahu?
Mengacu pada baris sebelumnya, (dianggap yang diberi keterangan adalah baris sebelumnya), maka yang dimaksud hanya Alloh yang tahu adalah jumlah dari si anak Adam, sampai kapankah berakhirnya proses reproduksi, atau proses tambahnya anak adam ini. Dan ini sesuai dengan Hadits Nabi waktu di tanya oleh malaikat Jibril,”Ya Nabi, kapankah datangnya kiamat itu?( kiamat bisa dipahami sebagai akhir masa reproduksi anak adam, atau akhir masa manusia yang di waktu itu sudah tidak ada kelahiran lagi.) Nabi menjawab,”Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Karena waktu datangnya kiamat hanya Alloh yang mengetahuinya.
[11]
Kaampat-ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kapada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah

`Keempat-empatnya tidak terpisah`, kata Datu Sanggul. Kempat-empatnya di sini, dimaksudkan masalah serba empat yang sudah dijelaskan di atas.
`Datang dan pergi kepada Alloh`, mengacu pada ayat “Inna lillahi wa ina ilaihi roji`un”,`siapa yang berasal dari Alloh akan kembali kepada Alloh.
Dalam bahasa jawa umumnya di sebut,”Sangkan paraning Dumadi”.
`Asalnya awak dari pada tanah`,`Asalnya jasmani dari tanah`, `asalpun
tanah sudah disyarah`, `asalnya tanah-pun sudah ditentukan`.
Nah, di sini Datuk Sanggul ingin menunjukkan pada kita, bahwa yang kembali pada Alloh itu bukan manusia dari unsur jasmani karena asal jasmani adalah tanah dan dari tanah kembali ke tanah lagi, melainkan unsur rohani-lah yang datang dan perginya dari Alloh.
Di sini muncul dua pemahaman.
“Sangkan paraning Dumadining Jasmani”, yaitu `dari tanah kembali ke tanah`
dan, “Sangkan paraning Dumadining Ruhani”, inilah yang `dari Alloh dan akan kembali ke Alloh`
Dua hal ini, bagi yang kurang paham kadangkala di samakan. Kadang dianggap kita kembali pada Alloh dengan jasmani dan rupa kita dan dengan jenis kelamin yang kita miliki. Padahal rupa kita, jenis kelamin kita, itu adalah bawaan jasmani. Bukankah tidak pernah kita temui adanya dalil, baik Qur-an maupun hadits yang menerangkan bahwa ruhani itu ada yang laki atau ada yang wanita???
Kadang ada yang berlogika bahwa saat kita mati, saat itulah yang tetap di akherat. Artinya bila kita mati muda, maka dengan wajah muda kita itu kita menghadap Alloh, sedang bila kita mati tua, maka wajah tua kita itu yang menghadap Alloh.
Nah, kalau anggapan ini diteruskan, muncul persoalan yang tak terjawab. Kalau kita mati dengan usia yang lebih tua dari kakek kita waktu mati, maka bukankah `lucu` ,karena logikanya menjadi, kita menghadap Alloh lebih muda kita dari pada kakek kita. Naudzubillah, pikiran yang sesat.
Ingatlah satu hadits,”Alloh tidak melihat rupamu, tidak melihat pakaianmu, tidak melihat jasmanimu, melainkan yang dilihat Alloh adalah hatimu” Sekali lagi, `asal dari Alloh`, `kembali ke Alloh`, `asal tanah kembali ke tanah`. Ini yang ada dalilnya di Qur`an. Dan ini pula yang diterangkan oleh Datuk Sanggul.
[12]
Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya sikulit kijang
Agung dan sarun babun dikacang
Kaler di pasang di atas gadang

`Dadalang simpur bamain wayang`, bisa di artikan ` Dalang bekerja bermain wayang`.
`Simpur`, sepertinya di ambil dari bahasa Jawa,`Sampur` yang berarti
`selendang`, tapi apabila dikatakan `ketiban sampur`, atau `ketiban
selendang`, sama artinya terkena suatu beban kerja`. Jadi `Dalang bekerja bermain wayang.`
Suatu turunan dari kebudayaan Hindu di India, yang dibawa masuk ke Indonesia, khususnya Jawa adalah `Pagelaran Wayang`. Dan setelah masuknya agama Islam, melalui para wali-wali (terutama wali sembilan), maka cerita-cerita dalam wayang di modifikasi sehingga semuanya membawa nafas ajaran agama Islam. Seperti cerita,`Dewa Ruci` yang katanya karya Sunan Bonang. Dan yang senang memakai wayang untuk memberikan pelajaran tentang agama Islam, terutama sekali memang Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang (konon).
Perlambang didalam wayang inilah, yang dipakai oleh Datuk Sanggul untuk menerangkan maksudnya. `Dalang kerja bermain wayang`, `Wayang asalnya si kulit kijang`.
`Agung dan Sarun Babun di kacang`.
Untuk satu bait ini, lama saya merenung, mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Datuk Sanggul dalam memakai Istilah ini, karena istilah `sarun babun dikacang`, tidak saya temukan dalam istilah bahasa Banjar (yang sekarang), tidak pula saya temukan di istilah bahasa Arab maupun Melayu. Atau mungkin saja saya yang memang tidak tahu bahwa istilah itu sebenarnya ada dalam salah satu bahasa tadi.
Bahkan saya juga sempat berpikir, jangan-jangan Datuk Sanggul memakai bahasa `Suryani`.Tapi, kalau melihat di baris berikutnya,` Kaler dipasang di atas gadang`, tampak serapan bahasa jawa ke dalam bahasa Banjar.
(Karena sudah saya tanyakan pada orang-orang Banjar sendiri, bahwa tidak ada istilah itu)., yang kata itu berasal dari bahasa Jawa yaitu,` Kelir dipasang di atas gedang`. Artinya,` Kelir` itu layar putih yang ada sebagai `background wayang`. `dipasang di atas gedang`. `gedang di sini dimaksudkan adalah `pisang` atau `pohon pisang`. Kalau istilah Jawanya `dhebog` (bacanya seperti `the book`).
Alhamdulillah ada salah seorang sahabat memberitahukan bahwa di kitab karya KH.Haderanie tentang ” Ma`rifat Musyahadah Mukasyafah Mahabah”, maksud dari
`Agung dan sarun babun dikancang` itu :
Agung = gong; Sarun = Saron; babun = genderang; dikancang = dikencangkan talinya
Dengan memakai pemahaman `Martabat tujuh`, baris ke tiga dan keempat bisa dipahami sebagai berikut,:
`Agung dan sarun babun di kacang`.`Kaler dipasang di atas gadang`.
`Agung` mewakili Dzat Alloh dalam martabat `Ahadiyah`, `sarun babun
dikacang` mewakili dan menceritakan `kemuliaan` dari martabat yang kedua dan ketiga. Karena lanjutannya adalah `Kelir` yang dalam filsafat Islam di jawa ini dipahami sebagai `Jagad` alam semesta ini. Yang berada pada martabat ke enam dan ketujuh, yaitu `alam ajsam` dan `alam insan kamil`. Sedangkan `pohon pisang` atau `gadang` yang dipakai menancapkan `Kelir` tersebut adalah mewakili perlambang `alam arwah` dan `alam mitsal`.
[13]
Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Semua majaz harus dipandang
Simpur balakun hanya saorang

`Wayang artinya si bayang-bayang`, Dipahami dalam filsafat Islam yang di Jawa, bahwa makna `wayang` memang berasal dari kata `bayang`. Menandakan bahwa `wayang itu si bayang-bayang`. Demikian juga manusia ini, yang dilambangkan sebagai wayang, adalah merupakan bayang-bayang dari Alloh ta`ala.
Hal itu juga yang menjadi alasan, kenapa wayang yang indah warna-warnai, tapi yang ditunjukkan pada penonton justru bayang-bayangnya. Tetapi bila penontonnya atau si wayang sendiri bisa memahami hakekat diri, maka tampaklah keindahan atau kemuliaan dirinya. Dan kalau diteruskan kesadarannya, maka sadarlah, bahwa yang menggerakkan wayang adalah si dalang.”Man arofa nafsahu faqod arofa robahu”, barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”.
Cerita di wayang, sama, atau analog dengan cerita di dunia ini yaitu
`Antara kadap lawan si tarang.`Antara gelap lawan terang`.
Kalau kita lihat, ada kesamaan filsafat wayang ini dengan filsafat aji
saka yaitu:
“ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba ta nga” “ada cerita, dua utusan, sama kuatnya, sama matinya”
Dua utusan ini adalah `kadap lawan tarang`, antara `gelap musuh terang`,
antara `kebenaran musuh kebatilan`. Yang memang sudah nash Qur`an juga sampai kiamat nanti, akan terus bertarung antara kebenaran musuh kebatilan ini. Dan barulah saatnya nanti (qiamat), kedua-duanya akan hancur lebur atau mati.
Analog juga dengan filsafat cina,:
yang dilambangkan dengan bulatan, yang separo terang dan yang separo gelap. Atau unsur yin dan yang. Hanya saja kalau di filsafat cina ini, dipahami bahwa seputih-putihnya, ada gelap sedikit. Dan segelap-gelapnya ada terang sedikit. Kenisbian gelap dan terang ini yang ditonjolkan.
Artinya tidak ada yang benar mutlak dan tidak ada yang salah mutlak.
Tapi Datuk sanggul mengingatkan,`semua majaz harus dipandang`. `Semua wujud atau semua bentuk tetap harus dipandang`, tetapi,` simpur balakun hanya saorang`. Hakekatnya, semua pekerjaan itu berasal dari si Dalang (hanya seorang).
“La haula wala quwata ila billah”. “Tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya dari Alloh semata”. (Tauhid)
[14]
Samar, Bagung si Nalagaring
Si Jambulita suara nyaring
Ampat isyarat amatlah panting
Siapa hendak mencari hening

Serba empat yang terakhir yang diceritakan Datuk Sanggul adalah 4
punakawan (4 hamba) dalam wayang yaitu,`Semar, Bagong, dan
Nologareng(Gareng),` serta` Si Jambulita suara nyaring` yaitu `Petruk`
yang rambutnya njambul itu. Mungkin ini bisa dipahami satu tahapan akhir dalam proses manusia yang mencari kebenaran yaitu proses `penghambaan diri` pada Alloh. atau `Hamba Alloh` atau “Abdulloh”.
Serba empat menurut Datuk Sanggul sangat-lah penting,` Ampat isyarat amatlah panting` bagi `Siapa yang hendak mencari hening` atau `bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran`.
Kututup dengan ucapan syukurku “Alhamdulillah” pada Alloh, pada Nabi Muhammad dan pada Syech Abdul Jalil atau Datuk Sanggul, yang telah memberikanku petunjuk, pengertian dan pemahaman.
Ada kesalahannya, semata-mata adalah karena kedholiman diriku ini., yang tidak mampu memberikan keterangan.
wassalam


Seberapa yakinkah kita dengan agama yang kita anut. Apakah kita beragama cuma ikutan/taklid saja kepada keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita kerjakan apakah itu sekedar memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah dilandasi ketulusan dan kecintaan kepada Allah? Nah, pada umumnya seseorang yang beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut ini :
1. ‘Ilmul Yaqin
2. ‘Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)

1. ‘Ilmul Yaqin
Ini adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal seseorang mendapat pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa, padahal si A tidak pernah ke negeri Cina. Jadi pengetahuan yang didapat dari si A hanyalah pada tataran teori belaka.
Seseorang yang beragama pada tingkat ini hanyalah yakin karena “kata orang”. Maka ia pun akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang orang tanpa melakukan penyelidikan atau mendalami secara sungguh-sungguh agamanya sendiri.
Jika agamanya sendiri tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama orang lain? Yang terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya. Merasa diri paling benar sehingga mengkafirkan yang lain.
Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang yang paling benar.
Orang pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut contohnya ya teroris seperti Noordin M Top, Dr.Azhari dan para pelaku bom bunuh diri yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Teroris seperti mereka selalu memahami jihad dengan berperang. Kalo tidak berperang serasa kurang afdhol. Lebih suka mati medan berperang ketimbang mati di meja belajar. Padahal ketika meledakkan diri, mereka tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang tidak bersalah. Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam melainkan orang kafir karena melakukan kerusakan di muka bumi.
Nah, bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang dikerjakan masih sulit untuk khusyu’ karena hanya gerak fisik belaka (sholat raga). Ibarat orang yang sedang menghormat dan berbicara kepada raja tapi rajanya tidak ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam sarpin (kekosongan). Ibarat menyumpit burung tapi burungnya tidak ada, yang disumpit adalah kekosongan. Sholat seperti ini sia-sia karena tidak mampu menghadirkan zikir didalamnya. Padahal sholat itu haruslah dapat menghadirkan zikir sebagaimana yang diperintahkan Allah :
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa (20) : 14)
Mengapa sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan zikir akan hadir ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau batin dan pikiran sudah tenang maka hawa nafsu bisa dikendalikan. Dirinya akan mampu melihat mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Sholat yang mampu menghadirikan zikir inilah yang akan mampu mencegah manusia dari berbuat keji dan mungkar :
Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabuut (29) : 45)
Bagi mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka sholatnya tidak akan mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan mungkar. Sholatnya tidak salah! Tapi orang yang mengerjakannya yang lalai.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Q.S Al Maa'un (107) : 4-5)
Tidaklah heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan agama yang luas tapi malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di Departemen Agama tapi malah tempat kerjanya dijadikan lahan korupsi. Inilah tandanya orang yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi masih suka KKN, dengki, suka bergunjing, memfitnah, dan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Inilah ibadah yang sia-sia karena cuma berolahraga saja dan tidak menghujam ke dalam batin.
2. ‘Ainul Yaqin
Tahapan ini lebih tinggi dari yang ‘ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu oleh si A bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A pernah ke Cina melihat tembok raksasa. Jadi pada tahapan ini seseorang mendapat pengajaran dari si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A bukan hanya tahu secara teori tapi ia telah membuktikannya dengan pergi ke negeri Cina.
Dalam kaitannya dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang sedang “mencari Tuhan”. Pencariannya meliputi penelitian melalui buku-buku, bertanya kepada orang-orang mengenai masalah Ketuhanan/spiritual dan orang yang ditanya pun tidak hanya pandai berteori namun sudah mempraktekannya juga.
Sholatnya orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena akan mampu menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya dari berbuat keji dan mungkar.
Namun demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin jangan puas dulu. Perjalanan belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan keyakinan kita sampai kita tahapan yang nyata dan terbukti. Kita harus pergi ke negeri Cina untuk menyaksikan tembok raksasa tersebut agar haqqul yaqin.
Mereka yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri dengan keyakinan atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas mengerjakan rukun iman dan rukun Islam tanpa berusaha mencapai makrifat kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah tentang keutamaan mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau mengalami pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj tapi tidak pernah mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa kebanyakan berceramah (teori) tanpa bisa membuktikan ceramahnya. Padahal di Al Quran kita telah di ingatkan agar jangan cepat berpuas diri :
Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang amat rugi perbuatannya?” Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup di dunia sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik (Q.S Al Kahfi (18) : 103-104)

3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
Inilah tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya mendengar cerita saja bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun kita mengalaminya sendiri dengan pergi ke negeri Cina. Kalau sudah ke negeri Cina dan melihat sendiri tembok tersebut tentu keyakinannya sangat kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq (nyata) dan terbukti (isbat).
Dalam kaitannya dengan keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul yaqin adalah orang yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah bermakrifat berarti ia mengenal Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia akan mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya (ladunni).
Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S Al Kahfi (18) : 65)
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah (2) : 282)
Manusia yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran yang Haq. Tidak ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai Mikraj, bertemu dengan Allah. Bagi mereka, Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual yang langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.
Lho… bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin seperti inilah yang telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat ulama dijadikan taklid, harga mati yang tidak bisa dirubah. Padahal pendapat ulama itu hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat makanan, jangan ditelan mentah-mentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru atau
ulama sebanyak-banyaknya. Jangan hanya cari ulama yang levelnya “SD” tapi cari juga ulama yang levelnya “SMP” , “SMA”, “S1” dan seterusnya. Jangan hanya belajar dari ulama yang sering muncul di televisi saja tapi belajarlah juga ulama lain yang lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul kepermukaan karena tidak mau menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau
kita hanya belajar dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah berkembang. Bagai katak dalam tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual saja. Padahal ilmu Allah itu teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat Islam abad modern untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan jaman.
Kalau kita taklid kepada pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati, ulama tersebut mau bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu sendirian ketika meninggal maka manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran hendaknya hanya dijadikan referensi saja. Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat referensi untuk mendekati kebenaran.
Kitalah nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi petunjuk Tuhan –tentu kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan pendapat saya di postingan ini adalah yang paling benar. Sekali lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah semata. Dan saya tidak mau ikut-ikutan sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebenaran dari Tuhan lalu dengan seenaknya mengatakan orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak kekerasaan kepada orang lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat adalah menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau tidaknya seseorang. Simak ayat berikut ini :
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (Q.S An Najm (53) : 32)
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk (Q.S Al An'aam (6) : 117)





Isra Mikraj. Peristiwa ini seringkali hanya dipahami sebagai turunnya perintah sholat lima waktu. Banyak orang yang hanya mengambil hikmahnya saja dari peristiwa Isra Mikraj tapi sedikit sekali yang mau meneladaninya atau mengalaminya langsung bertemu dengan-Nya. Hal ini disebabkan terpengaruh oleh pendapat ulama yang mengatakan bahwa Isra Mikraj cuma bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad. Seharusnya ulama tersebut jujur kepada diri sendiri kalau memang belum mampu melakukan atau mengalami Isra Mikraj. Nah, kalau belum mengalami seharusnya introspeksi diri jangan lantas kemudian mengatakan sesat jika ada orang lain yang mampu melakukan Isra Mikraj. Peristiwa Isra Mikraj sama sekali bukan untuk dikagumi belaka! bukan pula untuk dimitoskan! tapi untuk diteladani. Sekali lagi, diteladani!. Peristiwa Isra Mikraj dapat kita baca dalam Al Quran, sebagaimana dibawah ini:
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Al Israa (17) : 1)
Para ulama berbeda pendapat tentang perjalanan Nabi dalam Isra Mikraj ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad adalah secara fisik dan ruh, dan sebagian lagi mengatakan hanya ruh saja yang melakukan perjalanan. Perbedaan pendapat ini bukanlah hal yang harus dipersoalkan karena yang terpenting adalah memahami hakekat Isra Mikraj itu sendiri. Saya tetap menghargai pendapat ulama lain meski saya sendiri berpendapat bahwa Nabi melakukan perjalanan secara ruhani –bukan fisik. Tuhan adalah Maha Roh dan untuk menemui-Nya adalah melalui ruh juga.
Fisik hendaknya “ditanggalkan” atau dimatikan dahulu. Istilah jawanya adalah mati sakjroning urip (mati selagi hidup). Nabi juga bersabda muutuu qobla an tamuutu (matikan dirimu sebelum mati yang sesungguhnya). 
Bagi sebagian ulama, perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sering ditafsirkan secara harfiah yakni Nabi benar-benar melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Padahal ketika ayat diatas turun, Masjidil Aqsha belum ada sama sekali. Tempat sebelum Masjidil Aqsha didirikan adalah reruntuhan candi Sulaiman. Masjidil Aqsha baru didirikan pada kekhalifahan Umar bin Khattab dan baru selesai pembangunannya pada kekhalifahaan Abdul Malik bin Marwan pada 68 H yakni lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Jadi masjid tersebut adalah “simbol” yang harus dikaji maknanya lebih mendalam. Oleh karena sulit menjelaskan hal gaib maka simbol diperlukan untuk memudahkan pemahaman. Nah, Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha adalah simbol dari bayt Allah (rumah Allah). Tentu makna rumah Allah disini tidak diartikan secara harfiah sebagaimana rumah manusia karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan rumah. Peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa dimana Rasulullah berkunjung ke bayt Allah. Dimana letaknya bayt Allah? Ya di dalam diri tiap manusia.
Beliau melakukan perjalanan ruhani ke dalam diri. Dalam sebuah Hadistnya Nabi mengatakan : “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa tempat nabi melakukan Mikraj masih hangat. Ini artinya nabi tidak melakukan perjalanan spiritual secara fisik melainkan perjalanan secara ruhani yakni melalui zikir dan tafakur. Manusia tidak perlu melakukan perjalanan secara fisik untuk menemui Allah karena sesungguhnya Allah tidak berada disuatu tempat yang terikat oleh ruang dan waktu layaknya manusia. Allah itu meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu. (Q.S Fushshilat (41) : 54)
Dan Allah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Q.S Qaaf (50) : 16)
Dan Allah bersama kamu dimana saja kamu berada. (Q.S Al Hadiid (57) : 4)
Dari ayat diatas, kita akan menyadari bahwa Allah itu tidaklah berjauhan dengan hamba-Nya dan untuk mengenal Allah cukup dengan mengkaji ke dalam diri pribadi. Usaha untuk mengkaji ke dalam diri dimulai dengan Isra. Isra adalah usaha atau pencarian yang dilakukan manusia untuk mencari lalu menemui Tuhannya.
Hal ini disimbolkan melalui perjalanan malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Disebut perjalanan malam karena kebanyakan manusia ini hidup dalam kegelapan karena tidak tahu akan kemana tujuan hidupnya.
Orang yang tidak tahu tujuan hidup disebut orang yang buta mata batinnya. 
Dan barang siapa yang buta (mata batinnya) di dunia ini, niscaya di akherat nanti akan lebih buta lagi dan lebih tersesat dari jalan yang benar. (Q.S Al Israa (17) : 72)
Nah, kalau di dunia saja buta kita tidak tahu arah yang dituju apalagi di kehidupan yang akan datang? Ibarat mau ke Surabaya tapi tidak punya petunjuk jalan untuk mencapai daerah tersebut. Di perjalanan ya tentu akan nyasar. Tersesat ke arah yang makin kita tidak tahu dan tentu akan membuat kita makin menderita karena berada ditempat yang asing.
Lalu apa tujuan hidup kita sebenarnya? Ini telah saya jelaskan di post terdahulu  yaitu kembali kepada Allah (Ilayhi Roji’un). Nah agar manusia tidak tersesat (buta mata batinnya) dan selamat sampai kepada-Nya maka manusia harus mampu melakukan Isra Mikraj. Dan Isra Mikrajnya tidak perlu pergi ke Mekkah atau Yerusalem. Tidak perlu menjual tanah. Orang miskin harta pun bisa melakukan Isra Mikraj asalkan ia bersungguh-sungguh ingin menemui-Nya.
Hai Manusia, bersungguh-sungguhlah kamu dengan setekun-tekunnya sehingga sampai kepada Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya. (Q.S Al Insyiqaaq (84) : 6)
Dalam Isra atau pencarian ini manusia harus melakukan jihad ke dalam diri yakni melakukan takhalli dan tahalli agar kemudian bisa melakukan Mikraj yakni berkunjung ke bayt Allah untuk menemui-Nya. Apa itu takhalli dan tahalli ?



TAKHALLI
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S As Syams (91) : 9-10)

Takhalli adalah mensucikan diri. Dalam hal ini disimbolkan dengan kisah pembedahan hati Nabi oleh Malaikat Jibril dengan air zam-zam. Harap dipahami bahwa pembedahan hati tersebut hanya simbol!. Maksud dari simbol itu adalah untuk menemui Allah harus bersih/suci dari penyakit hati. Artinya adalah manusia harus berusaha mensucikan dirinya. Kenapa? Karena Allah itu Maha Suci. Dia hanya akan menerima hamba-Nya yang suci. Mereka yang belum suci ya belum bisa kembali kepada-Nya. Ini berarti mereka masih
berada di alam surga dan neraka-Nya. Sebagian dari mereka masih melakukan kejahatan. Sebagian dari mereka beribadah karena takut neraka (mental budak) dan sebagian mereka lagi beribadah karena berharap surga (mental pedagang). Jadi masih harus dilatih! Masih harus disempurnakan!

Bertakhalli adalah jihad yang paling besar karena harus mengalahkan diri sendiri. Harus mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Sifat-sifat iri, dengki, munafik, tamak, dan perbuatan lain yang merugikan orang haruslah dibuang jauh-jauh. Jelas bahwa musuh terbesar manusia bukanlah siapa-siapamelainkan dirinya sendiri. Ada sebuah ungkapan bijak dari Walt kelly yang mengatakan :
Kita telah menemukan sang musuh, dan ternyata dia adalah diri kita sendiri. Dalam suatu Hadistnya, Nabi juga mengatakan bahwa orang mukmin yang kuat bukanlah yang kuat fisiknya melainkan yang mampu mengalahkan hawa nafsunya.


TAHALLI

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S An Nahl(16) : 90)

Tahallli adalah mengisi hidup kita dengan kebajikan atau perbuatan yang baik seperti jujur, kasih sayang, sabar, ikhlas, mudah memberi maaf, menegakan perdamaian dan menebar salam kepada sesama manusia. Nah, sekarang ini sebagian umat Islam memposisikan dirinya ekslusif. Paling benar. Merasa paling masuk surga sendirian sehingga mengharamkan menjawab salam dari umat non muslim.
Padahal fatwa tersebut jelas menyalahi perintah Allah. Bahkan di Al Quran surah An Nisaa (4):94, pada saat berperang orang mukmin itu dilarang mengatakan “kamu bukan mukmin” terhadap orang yang mengucapkan salam. Dalam situasi perang saja kita diperintahkan demikian apalagi dalam situasi damai!. Ayat lain di Al Quran juga memerintahkan hal yang sama :

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah ialah mereka yang berjalan dimuka bumi ini dengan rendah hati. Apabila orang jahil menyapa mereka, maka mereka berkata “Salam” (kata-kata yang baik). (Q.S Al Furqan (25) : 63)

Coba kita baca kembali ayat diatas. Sangat jelas bahwa orang mukmin yang rendah hati pun akan membalas salam bahkan dari orang jahil atau iseng sekalipun. Inilah mukmin yang mampu mengajak orang lain ke sorga dengan menebar salam. Ayat diatas adalah ayat Quran, jadi tidak perlu ditanya lagi keshahihannya. Sayangnya oleh para ulama, ayat diatas dibatalkan oleh Hadist yang melarang menjawab salamnya orang non muslim. Tidaklah mengherankan jika kemudian Islam dipandang sebagian orang non muslim sebagai agama yang tidak bersahabat. Sungguh aneh jika Al Quran dihapus oleh Hadist. Seharusnya kita hanya mengambil Hadist yang tidak bertentangan dengan Quran. Kalau ada Hadist yang bertentangan dengan Quran sebaiknya tidak masuk hitungan meski diriwayatkan oleh perawi yang terkenal sekalipun. Perbuatan dan perkataan Rasul tentu disesuaikan dengan kondisinya pada saat itu. Kita harus melihat kemungkinannya bahwa Hadist itu sifatnya kasus per kasus () dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua keadaan. Dalam hal perintah Nabi untuk membunuh cecak misalnya, Hadist ini tidak bisa digeneralisasi bahwa semua cecak harus dibunuh sebab Nabi mengatakan perintah demikian karena pada saat itu Nabi terkena kotoran cecak. Malah dalam Hadist lainnya, Nabi justru
memerintahkan kita untuk tidak membunuh binatang yang tidak mengganggu.

Begitu juga dengan Hadist yang melarang menjawab salam dari kalangan non muslim harusnya jangan kita telan bulat-bulat. Jadi dalam hal ini kita harus berhati-hati dengan Hadist. Bukan berarti kita ingkar Hadist. Bukan!! Tapi berhati-hati dalam berfatwa menggunakan Hadist. Jangan kita terjebak mengagung-agungkan (taklid) kepada perawinya. Tidak ada jaminan dari Allah atau Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa perawi A atau B adalah perawi yang harus ditaati, dipercaya karena bebas dari kesalahan.

Sejarah Hadist sendiri dimulai pada tahun 100 H dimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendorong penulisan Hadist. Jika Al Qurannya pada masa itu sudah baku dan hanya ada satu yakni versi Ustman bin Affan -versi lainnya dibakar agar tidak terjadi perbedaan-, tidaklah demikian dengan Hadist. Di masa Umar bin. Abdul Aziz -yang wafat 101 H- riwayat, dongeng, sabda Yesus, dan doktrin di luar Al Quran menjamur dan tak terkontrol sehingga pemalsuan Hadist sulit untuk bisa di edit kembali. Lebih dari 125 tahun kemudian, Bukhari baru muncul di permukaan bumi. Tak alang kepalang jumlah Hadist, lebih dari sejuta Hadist. Bukhari sendiri menyeleksi sekitar
600.000 Hadis. Dan dari yang terseleksi pun banyak yang miring kepada daulat Abbasiyah.

Coba bayangkan, menguji validitas Hadist setelah 200 tahun Nabi wafat, tentunya merupakan pekerjaan yang hampir mustahil dikerjakan manusia. Karena itu, tumbuhlah ilmu-ilmu untuk menyaring Hadist, misalnya uji isnad/rijal, cara periwayatan, dan juga matan. Jika Alquran yang ribuan ayat saja perlu kejelian untuk menjadikannya kitab di masa Umar bin Khatthab, bagaimana membakukan Hadist yang jumlahnya lebih dari sejuta? Secara logis, “Pesan berantai” dari Nabi Muhammad hingga ratusan tahun ke depan tentu akan sulit ditelusuri keasliannya. Tidak heran jika ada kelompok yang saling berbeda pendapat akhirnya saling menuduh bahwa kelompok itu menggunakan Hadist palsu. Pertengkaran dalil seperti ini jelas akan mengorbankan ukhuwah Islam demi ego kelompoknya masing-masing.

Setelah pembakuan Hadist secara besar-besaran, terbukti umat Islam malah kian tertinggal dibandingkan umat agama lain karena patokan mereka cukup dengan Hadist saja, bahkan sebagian lagi malah ada yang “menuhankan” Hadist dan melupakan Quran. Dengan demikian, dalam menyikapi Hadist, harusnya kita sangat berhati-hati karena walau bagaimanapun ada Hadist yang sifatnya kasuistis (per kasus) dan ini bisa berbahaya bila digeneralisasi dan dijadikan hukum.

Hanya Al Quranlah yang dijamin keasliannya oleh Allah. Yang terbaik adalah menafsirkan Quran dengan Quran. Boleh saja kita menafsirkan Quran dengan Hadist asal Hadistnya tidak bertentangan dengan Quran. Kalau semua Quran ditafsirkan dengan Hadist ya umat Islam bakalan mandeg. Al Quran akhirnya cuma dikeramatkan. Orang malah lebih sering ngaji Quran ketimbang mengkaji Quran. Umat Islam jadi malas berpikir untuk mengkaji kembali Quran karena merasa sudah cukup ditafsirkan oleh Hadist. Al Quran jadinya
malah tertutup untuk bisa ditafsirkan kembali sesuai perubahan jaman. Jadilah kita umat Islam abad ke-21 dengan produk pemikiran di abad silam. Islam akhirnya tidak bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin yang mampu menjadi solusi di segala jaman. Sungguh kita membutuhkan ulama-ulama reformis yang mampu membenahi citra Islam sebagai agama yang terbuka terhadap perkembangan jaman.


TAJALLI

Maka Kami bukakan tirai yang menutupi engkau, oleh sebab itu pandangan engkau amatlah terangnya. (Q.S. Qaaf (50) : 22)

Pada proses takhalli dan tahalli, seseorang berarti telah makrifat kepada Af’al, Asma dan Sifat-Nya. Puncak dari seagala makrifat adalah makrifat Dzat. Inilah yang disebut tajalli. Dalam istilah lain disebut juga Musyahadah atau Mukhasafah. Manusia yang sudah mencapai tajalli berarti ia telah bermikraj.

Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi diceritakan telah sampai ke “Pohon Sidrah” (Pohon Lotus) yang biasa dikenal dengan sebutan Sidratul Muntaha. Dengan Mikraj berarti beliau telah sampai kepada bayt Allah lalu menemui-Nya. Nabi mengatakan : Ra’aitu Robbii fii ahsani su’uura (Aku telah melihat Tuhanku yang seelok-eloknya rupa yang tiada umpamanya). Dengan demikian, tidak ada hijab lagi antara diri dan Tuhannya. Yang ditemui adalah Cahaya diatas cahaya!

Allah adalah cahaya semua langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca (dan) kaca itu bak bintang yang memancarkan sinar gemerlapan yang dinyalakan (dengan minyak) dari pohon yang diberkati –yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun barat. Minyaknya pun bercahaya meski tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah memberikan cahaya pada orang yang menghendaki cahaya-Nya. (Q.S An Nuur (24):35)

Nah, sholatnya orang-orang beriman (makrifat) sangatlah khusyu karena ketika mereka sholat, tidak ada hijab antara ia dan Tuhannya. Nabi bersabda :
“Sholat adalah mikrajnya orang-orang yang beriman”. Ya! Hanya orangorang berimanlah yang mengalami Mikraj ketika sholatnya Ini artinya mereka tidak menyembah adam sarpin (kekosongan). Mereka bashar (melihat) Allah ketika sholat dan Allah pun bashar kepada mereka. Sunan Bonang –salah satu walisongo, penyebar agama Islam di nusantara- pernah bertutur, seperti yang tertulis dalam Suluk Wujil sebagai berikut :

Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yen tan katingalan
Temahe kasor kulane
Yen sira nora weruh
Kang sinembah ing dunya iki
Kadi anulup kaga
Punglune den sawur
Manuke mangsa kenaa
Awekasa amangeran adam sarpin
Sembahe siya-siya

Artinya : “manakah yang disebut sholat yang sesungguhnya? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah didunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya disebar tetapi tak ada satupun yang mengenai burungnya. Akhirnya cuma menyembah adam sarpin, penyembahan yang tiada berguna”

Dalam beragama, ada golongan orang ‘alim dan ada golongan orang ‘arif (telah makrifat). Perbedaannya adalah, kalau orang ‘alim mengenal Tuhan hanyalah sebatas percaya saja. Syahdatnya pun hanya diucapkan di bibir. Sedangkan orang ‘arif mengenal Tuhannya adalah melalui (penyaksian). Syahadatnya bukan hanya diucapkan belaka melainkan telah dibuktikannya. Jika seseorang sudah mencapai tahap alim maka seyogyanya ia meningkatkan kualitas dirinya menjadi seorang yang ‘arif. Orang yang telah mengenal Tuhannya akan mampu sholat terus menerus dalam keadaan berdiri, duduk, bahkan tidur nyenyak Intinya adalah segala perbuatannya adalah sholat. Inilah yang disebut “sholat daim”. Aladzina hum ‘ala sholaatihim daa’imuun. Yaitu mereka yang terus menerus melakukan sholat (Q.S Al-Ma’aarij : 70:23)

Mereka yang mampu sholat daim adalah mereka yang tidak akan berkeluh kesah dalam hidupnya dan senantiasa mendapat kebaikan sebagaimana disampaikan Q.S 70 : 19-22. Nah, sholat daim ini modelnya seperti apa? Ah.. tentu saja tidak bisa dibeberkan disini karena sholat daim adalah “oleh-oleh” dari hasil pencarian spiritual manusia. Tidak bisa diceritakan ke semua orang kecuali mereka yang telah memiliki kematangan spiritual. Ibarat pelajaran fisika S3, ya tentu tidak bisa diajarkan kepada anak SMP. Harus lulus dulu S2- nya agar menerima ilmu tersebut lebih mudah.

Sholat daim adalah sholatnya orang ‘arif yang telah mengenal Allah. Ini adalah sholatnya para Nabi, Rasul, dan orang-orang ‘arif. Ilmu ini memang tidak banyak diketahui orang awam. Lantas bagaimana dengan sholat lima waktu? Nah sholat lima waktu sebenarnya adalah jumlah minimal saja yang harus dikerjakan manusia untuk mengingat Allah. Pada hakekatnya kita malah harus terus menerus untuk mengingat Allah sebagaimana firman-Nya :

Dan ingatlah kepada Allah diwaktu petang dan pagi (Q.S Ar-Ruum (30) : 17)
Dan sebutlah nama Tuhanmu pada pagi dan petang. (Q.S Al-Insaan (76) : 25)

Ayat diatas bukan berarti mengingat Allah hanya dua kali saja yaitu waktu pagi dan petang sebab makna ayat diatas justru sehari-semalam! Yakni pagi dimulai dari jam 12 AM-12 PM, sampai dengan petang jam 12 PM-12 AM, begitu seterusnya. Nah, karena tidak semua orang sanggup untuk mengingat Allah dalam sehari-semalam maka sholat lima waktu itu adalah merupakan event khusus untuk mengingat-Nya. Jika orang awam tidak ada perintah sholat lima waktu maka tentu saja Allah akan mudah terlupakan. Kalau Allah
terlupakan maka bumi ini bisa rusak oleh berbagai kejahatan yang dilakukan manusia. Orang awam perlu dilatih disiplin melalui sholat lima waktu ini untuk mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, kontrol diri akan lebih kuat.

Namun demikian, janganlah merasa cukup puas hanya dengan sholat lima waktu. Tingkatkanlah agar kita mampu melakukan sholat daim. Mari kita simak kembali ungkapan Sunan Bonang yang tertulis dalam Suluk Wujil :

Utaming sarira puniki
Angawruhana jatining salat
Sembah lawan pujine
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang araneka
Wenange puniku
Lamun aranana salat
Pan minangka kekembaning salat daim
Ingaran tata krama

Artinya : “Unggulnya diri itu mengetahui hakekat sholat, sembah dan pujian. Sholat yang sebenarnya bukan mengerjakan isya atau magrib. Itu namanya sembahyang, apabila disebut sholat maka itu hanya hiasan dari sholat daim. Hanyalah tata krama”

Dari ajaran Sunan Bonang diatas, maka kita bisa memahami bahwa sholat lima waktu adalah sholat hiasan dari sholat daim. Sholat lima waktu ganjarannya adalah masuk surga dan terhindar neraka. Tentu yang mendapat surga pun adalah mereka yang mampu menegakan sholat yaitu dengan sholat tersebut, ia mampu mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar.

Sayangnya, saat ini banyak orang yang hanya meributkan sholat fisiknya saja dan melupakan hakekat sholat itu sendiri. Seringkali jika terdapat perbedaan pada gerakan ataupun bacaan sholat, mereka saling ribut mengatakan sholatnya paling benar dengan menyebut sejumlah Hadist yang diyakininya benar.
Harap diingat! Perbedaan gerak maupun bacaan adalah hal yang wajar karena Nabi sendiri tidak mengajarkan sholat secara khusus melainkan hanyamengatakan “Sholatlah sebagaimana aku sholat”. Nah karena banyak orang yang menyaksikan sholatnya Nabi, maka penglihatan masing-masing orang bisa berbeda sehingga tidaklah aneh jika ada perbedaan dikemudian hari.

Mengapa Nabi tidak mengajarkan sholat secara khusus? karena gerakan sholat yang dicontohkan Nabi sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Arab. Gerakan sholat yang dicontoh Nabi berasal dari agama Kristen Ortodoks Syiria yang telah muncul satu abad sebelum Nabi lahir. Ritual sholat mereka dikerjakan dalam tujuh waktu. Gerakannya ada berdiri, ruku dan sujudnya mirip sekali dengan sholat lima waktu umat Islam. Cara sholat umat Kristen Ortodoks Syiria sampai hari ini pun masih bisa kita saksikan. Bagi umat Islam yang tidak mengerti sejarah, pasti akan sewot dan mengatakan mereka telah mencontek sholatnya orang Islam atau menuduh mereka melakukan kristenisasi gaya baru. Padahal, justru kitalah yang mengadopsi sholat dari mereka.

Dengan demikian, Nabi ternyata tidak membawa syariat baru. Nabi hanya memodifikasi berbagai syariat yang telah ada sebelumnya. Contoh lainnya adalah Ibadah Haji dan Umroh. Ibadah ini sudah menjadi kelaziman pada jaman pra Islam. Hampir seluruh ritualnya sama dengan yang dilakukan umat Islam pada saat sekarang, yakni memakai pakaian ihram, wukuf, melempar jumrah, sa’i dll. Nabi hanya mewarisi saja dengan menyingkirkan ibadah ini dari kesyirikan dan diganti dengan kalimah thoyibah. Begitu juga dengan
pengagungan bulan Ramadhan, perkumpulan di hari jum’at, telah ada sebelumnya pada jaman pra Islam. Aturan pra Islam lainnya yang diadopsi dari tradisi hanifiyyah antara lain : pengharaman minum arak, riba, zina, memakan babi, kemudian ada juga pemotongan hukum tangan pelaku pencuri dlsb. Dengan demikian, Nabi hanya melakukan modifikasi saja pada beberapa syariat dan aturan. Termasuk dalam hal poligami yang tadinya dilakukan orang Arab pra Islam tanpa batas kemudian oleh Nabi dibatas menjadi empat
istri sesuai perintah dari Allah.

Nah, fakta-fakta diatas dapat Anda baca secara lebih luas melalui buku-buku yang mengulas sejarah dan peradaban pra Islam, misalnya karangan Khalil Abdul Karim dengan judulnya Al-Judzurat at-Tarikhiyyah la asy-syariah al Islamiyyah. Nah, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Nabi tidak membawa syariat yang sama sekali baru? Jawabannya mudah saja, karena jika membawa syariat baru maka hampir bisa dipastikan dakwah Nabi gagal. Sama halnya jika Nabi mengenalkan kesenian wayang di tanah Arab tentulah akan gagal karena ketidakcocokan budaya. Meski Islam itu untuk seluruh umat manusia, namun dalam konteks mengenalkan agama tersebut haruslah tetap mengacu dan berkompromi pada ritual dan budaya lokal Arab agar tetap bisa diterima masyarakat pada saat itu. Perhatikan firman Allah berikut ini :

Dan jikalau Kami jadikan Al Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? (Q.S Fushishilat (41) : 44)
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (Q.S Ibrahim (14) : 4)

Kalau Nabi membawa syariat baru maka sudah pasti akan ditolak oleh orang Arab karena syariat itu akan menjadi sangat asing bagi mereka. Coba kita ingat kembali misi utama Nabi yaitu memperbaiki ahlak dan mengajarkan tauhid. Bayangkan jika Nabi harus mengenalkan syariat baru, maka tentunya dakwah Nabi malah akan dipenuhi oleh pengajaran ritual-ritual ibadah yang baru. Bisa jadi nantinya fokus pada pembinaan ahlak akan terbengkalai karena umat lebih sibuk belajar ibadah ritual tanpa memahami hakekat ritual itu sendiri. Padahal semua ritual tersebut, tujuannya adalah untuk membentuk ahlak yang baik.

Hal yang sama juga telah dilakukan oleh para wali songo. Contohnya Sunan Kudus membuat Masjid dengan atapnya sama seperti pura (rumah ibadah umat Hindu). Syekh Siti Jenar tidak mengajarkan “sholat ala Arab” kepada orang jawa. Sujud bagi orang Arab adalah penghormatan yang tertinggi, sedangkan bagi orang jawa, penghormatan tertinggi adalah duduk dengan tangan ditangkupkan diatas kepala. Wali lain seperti Sunan Kalijaga juga mengenalkan Islam melalui sekatenan, muludan, selametan, wayang dll.

Sampai saat ini, kita masih mendapati Islam jawa yang diajarkan oleh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga yang kemudian lebih dikenal dengan nama Islam abangan atau kejawen. Dengan demikian, para wali ini sebenarnya telah mengikuti sunnah Nabi yakni tidak merubah kebiasaan masyarakat setempat melainkan memodifikasi sedemikian rupa agar dakwahnya bisa diterima. Bagi para wali, yang terpenting dari ibadah itu adalah tujuannya sedangkan “wadahnya” bisa fleksibel sesuai dengan tradisi setempat.

Sekarang, sudah saatnya bagi kita tidak lagi perang syariat antar aliran agama. Yang terpenting dari syariat adalah isinya bukan kulitnya!. Syariat tanpa hakekat adalah sia-sia. Hakekat tanpa syariat? Nah ini yang sebenarnya tidak ada!, orang yang sudah mencapai hakekat, sudah pasti syariatnya ikut meski penerapannya berbeda antar tiap kelompok, aliran dan agama. Adanya perbedaan haruslah dihargai, bukan diperangi! Sebab cuma Allah-lah yang mengetahui sesat atau tidaknya seseorang (Q.S 53 : 32, 6 : 117).

Kita harus mampu melampaui batasan yang sifatnya lahiriah. Jangan melulu meributkan ritual fisik sholat! Tapi lihatlah tujuan dari sholat itu sendiri. Jangan pula hanya berhenti pada tataran sholat lima waktu saja. Sholat yang sejati adalah sholat yang terus menerus selama 24 jam (sholat daim) karena sholat inilah yang mampu melampui alam surga sehingga dapat kembali kepada-Nya. Disanalah nanti orang-orang ‘arif akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal, manunggal bersama-Nya!

Bagi mereka yang ingin mendalami sholat daim maka silahkan mencari ulama tauhid (guru mursyid). Ulama ini cukup banyak hanya saja mereka tidak muncul ke permukaan. Mereka hanya mau mengajari orang-orang yang mau mencapai maqam makrifat saja. Sama halnya Nabi Muhammad pun hanya mengajari orang-orang tertentu saja misalnya para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dll. Nah karena tidak mengajarkan secara terang-terangan inilah maka kemudian sebagian umat Islam menghakimi bahwa tasawuf yang
bermunculan adalah sesat. Padahal ajaran tasawuf yang bermunculan semuanya bermuara ke para sahabat Nabi seperti Ali, Abu Bakar dll. Bahkan ada kelompok tasawuf yang mewajibkan murid-muridnya harus hafal silsilah dari guru mursyidnya hingga ke Rasulullah. Ini menandakan bahwa Rasulullah memang mengajarkan tasawuf atau cara mencapai makrifat kepada sahabatnya
lalu diwariskan kembali oleh sahabat tersebut kepada generasi selanjutnya. Para imam mazhab sendiri mengakui tasawuf sebagai ajaran yang sangat penting. Imam Syafi’i Ra mengatakan : “Aku diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua. Meninggalkan hal-hal yang memaksa, bergaul dengan sesama penuh kelembutan dan mengikuti ahli tasawuf”.

Imam Ahmad bin Hambal Ra sebelum bertasawuf mengatakan “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak kepada Hadist. Kamu harus berhati-hati bersama orang yang menamakan dirinya kaum sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama”. Kemudian setelah berguru tasawuf kepada Abu Hamzah Al Baghdady, beliau meralat ucapannya : “Hai anakku, hendaknya engkau bermajlis kepada para sufi karena mereka bisa memberikan tambahan bekal kepada kita melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur. Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum sufi”.

Jadi, cara, usaha atau wasilah apapun sepanjang itu bisa mendekatkan diri kepada Allah tidaklah dilarang. Malah di Al Quran, kita dianjurkan mencari jalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya :

Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh lah pada jalan- Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (Q.S Al Maaidah (5) : 35)

Belajar tasawuf dengan berguru kepada ulama tauhid merupakan usaha atau jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mengapa berguru itu penting? Keutamaan seorang guru mursyid adalah mampu membimbing kita lebih terarah ketimbang kita melakukan pencarian seorang diri. Dari sisi efisiensi waktu, jelas belajar kepada seorang guru akan lebih cepat ketimbang belajar tanpa guru. Meski demikian guru mursyid hendaknya tidak dikultuskan sedemikian rupa. Kita menimba pelajaran dari beliau dan kita sendirilah yang
akan menjalankannya. Kita tetap menjaga hubungan yang baik dengan dengan guru mursyid sebagai sesama orang yang beriman.
Diluar sana, banyak juga orang yang melakukan perjalanan spiritual seorang diri. Tentunya ia akan membutuhkan waktu yang panjang dan hasilnya pun belum pasti bahkan bisa terperosok kepada jalan yang keliru. Imam Ghozali adalah salah seorang filsuf yang melakukan perjalanan panjang (salik) dalam menemui Tuhannya. Ia bahkan harus mengasingkan diri dari keramaian orang banyak (uzlah) agar tidak terganggu tirakatnya.

Tentu hidup di jaman sekarang sangat sulit mengasingkan diri dari keramaian orang. Uzlah yang harus dilakukan manusia modern hendaknya tidak harus menyendiri dari keramaian dan tidak harus melepas tanggung jawab dunia dengan meninggalkan anak, istri. Seorang sufi bernama Abu Said Al Khudri bahkan mengatakan :
“Manusia sempurna adalah orang yang duduk diantara semua mahluk, berdagang bersama mereka, menikah serta bercampur dengan sesama manusia. Namun mereka tidak lengah sedetikpun dari mengingat Allah”.

Dengan uraian diatas, jelaslah bahwa usaha untuk menemui Allah tidak mesti harus memutus hubungan bermasyarakat. Allah bisa ditemui siapapun, ditempat apapun. Untuk menemui Allah ternyata ada jalan terpendek (mazhud) yakni dengan mendapat bimbingan dari guru mursyid. Rasullullah sendiri telah mencontohkan dalam hal menemui Allah yaitu dengan mikraj yang dilakukan cukup semalaman saja. Bandingkan dengan Sidharta Gautama yang membutuhkan waktu 6 tahun untuk mencapai mikraj. Guru mursyid inilah yang mampu mengajarkan mikraj dengan cepat sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad. Carilah guru mursyid yang mampu memberikan jalan tercepat dan paling efektif dalam usaha menemui-Nya sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Quran :

Aku dapat membawa singgasana-Nya dalam sekejab mata (Q.S An Naml (27) : 40)

Jalan pendek ini pun akhirnya diakui jauh lebih efektif oleh Imam Ghozali dalam bukunya yang berjudul “misykat cahaya”. Sebab Allah selalu memberi kemudahan kepada umat-Nya khususnya bagi mereka yang memiliki keinginan kuat untuk menemui-Nya. Nabi Muhammad, dalam Hadistnya mengatakan :

“Barang siapa ingin menjumpai Allah, maka Allah pun ingin menjumpainya”

“Barang siapa yang tidak ingin menjumpai Allah, maka Allah pun tidak ada
keinginan untuk menjumpainya”

”berjalan kamu menuju Allah, maka berlari Allah menghampirimu. Sejengkal
kamu mendatangi Allah, maka sedepa Allah mendatangimu”.